MAHKUM FIH DAN MAHKUM ‘ALAIH
Disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah Ushul Fiqih
Dosen
pengampu : Abdul salam ,M.A
DISUSUN OLEH :
ERNI SETYANINGSIH (132100009)
SEKOLAH
TINGGI ILMU AGAMA ALMA ATA
YOGYAKARTA
2014 – 2013
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur kita
panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat kepada kita, sehingga
kita masih diberi kemampuan untuk mengerjakan makalah Ushul Fiqih tentang
Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih.
Sholawat
dan salam semoga selalu terjunjungkan kepada nabi besar kita nabi Muhammad SAW
yang telah mempersatukan umat islam di seluruh dunia.
Dan makalah kamipun tidak akan
selesai tanpa bantuan pihak lain, maka dari itu kami mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu terselesainya makalah Ushul Fiqih
tentang Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih.
Mungkin hanya ini yang dapat kami
sampaikan, jika terdapat kesalahan dalam penulisan kata dan penyusunan kami
memohon maaf, dan semoga makalah kami ini menjadi rujukan ilmu pengetahuan bagi
para pembaca. Amin.
Yogyakarta, 24 Februari 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...............................................................................................................1
DAFTAR ISI..............................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
a.
latar
belakang...............................................................................................................3
b.
rumusan
masalah..........................................................................................................3
c.
tujuan
penulisan ..........................................................................................................3
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Pengertian
Mahkum Fih ……………….....................................................................4
b.
Syarat-syarat
Mahkum Fih..........................................................................................4
c.
Macam-macam
Mahkum Fih………..........................................................................4
d.
Pengertian
Mahkum ‘Alaih …………………………………………………………5
e.
Dasar
Taklif …………………………………………………………………………5
f.
Syarat-syarat
Taklif ………………………………………………………………....5
g.
Halangan
Ahliyyah ………………………………………………………………….8
BAB III
PENUTUP
a. kesimpulan...................................................................................................................9
DAFTAR
PUSTAKA..............................................................................................................10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa
hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah. Dia-lah sang pembuat
hukum yang diperintahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan
hukum taklifi (seperti: wajib, sunnah, haram, makruh, mubah, maupun yang
terkait) dengan hukum wad’i (seperti: sebab,
syarat, halangan, sah, batal, fazid, azimah dan rukhsoh). Untuk menyebut
istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum fih, karena
didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram, atau lebih
mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’
itu adalah mahkum fih, sedangkan seseorang yang di kenai khitob itulah yang
disebut mahkum alaih (mukallaf) , berikut penjelasan masing-masing. Melalui
makalah ini kami yang dibebani tugas untuk mengkaji materi ini akan memberikan
penjelasan lebih lanjut antar mahkum fih dan mahkum alaih.
B.
Rumusan Masalah
Sesuai yang telah
dijelaskan dalam latar belakang, pembuatan makalah ini mengacu pada rumusan
masalah sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan mahkum fih ?
2.
Apa
syarat-syarat mahkum fih?
3.
Apa
Macam-macam mahkum fih?
4.
Apa yang dimaksud dengan mahkun alaih ?
C. Tujuan
Tujuan dari
pembuatan makalah ini tidak lain hanyalah untuk menjelaskan dan memaparkan
lebih lanjut terhadap rumusan masalah, yaitu :
1.
Menjelaskan pengertian mengenai mahkum fih.
2.
Menjelaskan pengertian mengenai
mahkum alaih
BAB II
PEMBAHASAN
v MAHKUM
FIH
A.
Pengertian
Mahkum Fih
Mahkum
fih ialah yang dibuat hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan
(sangkutan) dengan hukum yang lima, yang masing-masing ialah:
1.
Yang berhubungan dengan ijab, dinamai wajib;
2.
Yang berhubungan dengan nadb, dinamai
mandub/sunnah;
3.
Yang berhubungan dengan tahrim, dinamai haram;
4.
Yang berhubungan dengan karahah, dinamai
makruh;
B.
Syarat-syarat
Mahkum Fih
Supaya sesuatu perbuatan sah ditaklifkan, ia
harus memenuhi tiga syarat :
1.
Perbuatan itu diketahui oleh mukallaf dengan
jelas, sehingga dia sanggup melakukannya seperti yang diminta dari padanya.
2.
Harus diketahui bahwa pentaklifan itu berasal
dari orang yang mempunyai wewenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang
wajib atas mukallaf mematuhi hukum-hukumnya.
3.
Bahwa perbuatan yang ditaklifkan itu mungkin
terjadi, artinya melakukannya atau meninggalkannya berada dalam batas kemampuan
mukallaf.
C.
Macam-macam
Mahkum Fih
Perbuatan
yang dihukumkan (Mahkum Fih) itu adalah:
1.
Wajib
Perbuatan wajib, yaitu sesuatu perbuatan yang
diberikan pahala bila dikerjakan dan diberi siksa bila ditinggalkan.
Contoh Wajib :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu…… (Surat Al-Maidah, ayat 1).
Ijaab yang diperoleh dari ayat ini berhubungan
dengan perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi aqad yang hukumnya wajib.
2.
Mandub
Mandub (sunnah) yaitu suatu perkara yang
apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa
atau dosa.
Contoh Mandub:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu'amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya....
(Surat Al-Baqarah, ayat 282) .
Nadab yang diperoleh dari ayat ini
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu menulis hutangyang
hukumnya mandub (sunat).
3.
Haram
Contoh Haram:
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa...
(Surat Al-An’am, ayat 151).
Tahrim yang diperoleh dari ayat ini
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu membunuh jiwayang
hukumnya haram.
4.
Makruh
Makruh ialah larangan yang tidak keras, jika
dilanggar tidak berdosa, tetapi kalau tidak dikerjakan mendapat pahala.
Contoh Makruh:
Artinya: Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya… (Surat Al-Baqarah, ayat 267).
Karahah yang diperoleh dari ayat ini
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu menafkahkan harta yang buruk yang
hukumnya makruh.
5.
Mubah
Mubah ialah sesuatu yang boleh/tidak
dikerjakan. Kalau dikerjakan/ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa,
misalnya makan yang halal, berpakaian bagus, tidur, dan sebagainya.
Contoh Mubah:
Artinya: Maka Barangsiapa diantara kamu ada
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain...
(Surat Al-Baqarah, ayat 184).
Ibahah yang diperoleh dari ayat ini
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu berbuka puasadalam keadaan
sakit atau dalam perjalanan, yang hukumnya mubah.
v MAHKUM
‘ALAIHI
A.
Pengertian
Mahkum ‘Alaihi
Mahkum
‘alaihi (مَحْكُوْمٌ عَلَيْهِ) = yang dikenai hukum ialah: orang-orang mukallaf, artinya
orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa
yang dijadikan beban baginya. Orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan
anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai taklif
(tuntutan), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ
ثَلاَ ثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى
يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيْقُ. (روه ابوداود والنسائ)
“Pena itu telah
diangkat (tidak dipergunakan mencatat) amal perbuatan tiga orang: (1) orang
yang tidur hingga ia bangun, (2) anak-anak hingga ia dewasa, dan (3) orang gila
hingga sembuh kembali”.
Demikianlah
orang yang terlupa disamakan dengan orang yang tidur dan yang tidak mungkin
mematuhi apa yang ditaklifkan.
B.
Dasar Taklif
Sebagai
kebijaksanaan Allah SWT, perintah dan larangan (taklif = pertanggungan jawab,
selanjutnya taklifi, selalu disesuaikan dengan kemampuan (ahliyyah) manusia.
Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia bagaimanapun juga macamnya, tidak
dibebankan kecuali kepada orang yang mempunyai kemampuan, karena itu, kemampuan
ini menjadi dasar adanya taklif.
C.
Syarat-syarat
Taklif
Syarat-syarat
orang mukallaf itu ada dua bagian:
1.
Harus sanggup dan dapat memahami khitah atau
ketentuan yang dihadapkan kepadanya.
2.
Ahli dan patut ditaklifi. Yang dimaksud dengan
ahli adalah pantas atau patut ditaklifi. Yang dimaksud mukallaf itu pantas atau
patut dibebani dengan taklif. Ahli yang dimaksud terdiri dari dua bagian antara
lain:
a.
Ahliyyah Wajib (اَهْلِيَةُ الْوُجُوْب )adalah kepantasan seseorang untuk mempunyai hak
dan kewajiban.
·
Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang
harus diterimanya dari orang lain.
·
Kewajiban adalah sesuatu yang harus diberikan
kepada orang lain.
Jadi ahliyatul-wujub itu adalah kepantasan
seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban dari
orang lain. Dasar keputusan itu ialah kemanusiaan. Oleh karena itu sesama
manusia laki-laki, perempuan, baik janin, bayi maupun baligh, gila ataupun
waras/sehat otaknya, sakit atau sehat ditinjau dari kemanusiaannya ia adalah
ahliyatul wajib.
Manusia ditinjau dari hubungannya dengan
ahliyyatul wujub mempunyai dua keadaan saja, yaitu:
1)
Terkadang ia mempunyai ahliyyatul wujub yang
kurang, yaitu apabila ia layak untuk memperoleh hak, akan tetapi tidak layak
untuk dibebani kewajiban, ataupun sebaliknya. Mereka mencontohkan yang pertama
dengan contoh janin didalam perut ibunya. Ia mempunyai berbagai hak, karena ia
berhak menerima warisan dan berhak atas pemanfaatan waqaf, akan tetapi ia tidak
terbebani kewajiban untuk orang lain. Dengan demikian, ahliyyatul wujubnya
adalah kurang.
2)
Ada kalanya ia mempunyai ahliyyatul wujub yang
sempurna, apabila ia layak untuk memperoleh berbagai hak dan dibebani berbagai
kewajiban. Ahliyyatul wujub ini tetap pada setiap manusia semenjak ia lahir,
ketika ia kanak-kanak, dalam usia menjelang balighnya (mumayyiz), dan setelah
ia baligh. Dalam keadaan apapun ia berbeda pada periode dari perkembangan
kehidupannya, ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna. Sebagaimana telah kami
kemukakan tidak ada seorang manusiapun yang tidak mempunyai ahliyyatul wujub.
b.
Ahliyyah ada’ ( اَهْلِيَةُ
الاَدَاءَ ) adalah
kepantasan seseorang mukallaf untuk diperhitungkan oleh syara’, ucapan dan
perbuatannya dengan pengertian, apabila seseorang mengerjakan shalat wajib,
maka syara’ menilai bahwa kewajibannya telah tunai dan gugur daripadanya
tuntutan itu. Sebagai dasar untuk menentukan ahliyatul ada-a ialah tamyiz. Oleh
karena itu manusia yang tergolong kepada ahliyatul ada-a hanyalah manusia yang mumayiz
saja.
Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyah
ada’ mempunyai tiga keadaan, yaitu:
1)
Terkadang ia sama sekali tidak mempunyai
ahliyyah ada’, atau sama sekali sepi daripadanya. Inilah anak kecil pada
masa kanak-kanaknya dan orang gila dalam usia berapapun.
2)
Ada kalanya ia adalah kurang ahliyyah ada’-nya.
Yaitu orang yang telah pintar tapi belum baligh. Ini berkenaan dengan anak
kecil pada periode tamyiz (pandai membedakan antara baik dan buruk)
sebelum baligh, dan berkenaan pula pada orang yang kurang waras otaknya, karena
sesungguhnya orang yang kurang waras otaknya adalah orang yang cacat akalnya,
bukan tidakl berakal, Ia hanyalah lemah akal, kurang sempurna akalnya. Jadi
hukumnya sama dengan anak kecil yang mumayyiz.
3)
Ada kalanya ia mempunyai ahliyyah ada’ yang
sempurna, yaitu orang yang telah mencapai akil baligh, ahliyyah ada’ yang
sempurna terwujud dengan kebalighan manusia dalam keadaan berakal.
Halangan
Ahliyyah
Hal-hal
yang menggugurkan taklif dalam Ilmu Ushul Fikih disebut: عَوَارِضُ
الأَهْلِيَّةِ
(hal-hal
yang menghilangkan Keahlian), yang terbagi ke dalam dua macam, yaitu:
1.
سَمَاوِيَّةُعَوَرِضُ =
hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya diluar usaha dan kehendak
manusia. Seperti gila, agak kurang waras akalnya, dan lupa.
2.
كَسْبِيَةٌعَوَرِضُ = hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan
kehendak manusia. Seperti mabuk, bodoh, dan hutang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pemahaman penulis, mahkum fih merupakan perbuatan mukallaf yang berhubungan
dengan hukum yang lima, yaitu ijab/wajib, nadb/mandub, tahrim/haram,
karahah/makruh, ibahah/mubah.
Syarat-syarat
mahkum fih antara lain: perbuatan itu diketahui oleh mukallaf dengan
jelas, sehingga dia sanggup melakukannya seperti yang diminta dari padanya,
harus diketahui bahwa pentaklifan itu berasal dari orang yang mempunyai
wewenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib atas mukallaf
mematuhi hukum-hukumnya dan bahwa perbuatan yang ditaklifkan itu mungkin
terjadi, artinya melakukannya atau meninggalkannya berada dalam batas kemampuan
mukallaf.
Mahkum
fih terbagi menjadi 5 macam, yaitu ijab/wajib, nadb/mandub, tahrim/haram,
karahah/makruh, ibahah/mubah. Mahkum ‘alaihi adalah subjek hukum atau yang
dikenai hukum. Yaitu orang-orang mukallaf.
Syarat-syarat
taklifi antara lain: harus sanggup dan dapat memahami khitah atau
ketentuan yang dihadapkan kepadanya, dan ahli dan patut ditaklifi. Yang menjadi
dasar taklif adalah kemampuan (ahliyyah) manusia. Kemampuan tersebut dibagi
menjadi dua, yaitu ahliyyah wujub dan ahliyyah ada’.
Halangan
ahliyyah yaitu hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya
diluar usaha dan kehendak manusia, danhal-hal yang menghalang yang berasal dari
usaha dan kehendak manusia.
1.
Ahmad, Zainal Abidin, Ushul Fiqih,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
2.
Bakry, Nazar, Fiqh &Ushul Fiqh,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.
3.
Rifa’i, Moh., Ushul Fiqih, Bandung: PT
Alma’arif, tt.
4.
Hanafie, A., Ushul Fiqh, Jakarta:
Widjaya Djakarta, 1965.
5.
Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul
Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar