Kamis, 20 Maret 2014

MAHKUM FIH DAN MAHKUM ‘ALAIH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih
Dosen pengampu : Abdul salam ,M.A








DISUSUN OLEH :

ERNI SETYANINGSIH (132100009)









SEKOLAH TINGGI ILMU AGAMA ALMA ATA
YOGYAKARTA
2014 – 2013 


KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat kepada kita, sehingga kita masih diberi kemampuan untuk mengerjakan makalah Ushul Fiqih tentang Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih.
            Sholawat dan salam semoga selalu terjunjungkan kepada nabi besar kita nabi Muhammad SAW yang telah mempersatukan umat islam di seluruh dunia.
Dan makalah kamipun tidak akan selesai tanpa bantuan pihak lain, maka dari itu kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesainya makalah Ushul Fiqih tentang Mahkum Fih dan Mahkum ‘Alaih.
Mungkin hanya ini yang dapat kami sampaikan, jika terdapat kesalahan dalam penulisan kata dan penyusunan kami memohon maaf, dan semoga makalah kami ini menjadi rujukan ilmu pengetahuan bagi para pembaca. Amin.






Yogyakarta, 24 Februari 2014

Penyusun



 




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................1

DAFTAR ISI..............................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN
a.    latar belakang...............................................................................................................3
b.    rumusan masalah..........................................................................................................3
c.    tujuan penulisan ..........................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
a.    Pengertian Mahkum Fih ……………….....................................................................4
b.    Syarat-syarat Mahkum Fih..........................................................................................4
c.    Macam-macam Mahkum Fih………..........................................................................4
d.   Pengertian Mahkum ‘Alaih …………………………………………………………5
e.    Dasar Taklif …………………………………………………………………………5
f.     Syarat-syarat Taklif ………………………………………………………………....5
g.    Halangan Ahliyyah ………………………………………………………………….8

BAB III PENUTUP
a.  kesimpulan...................................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................10









BAB I
PENDAHULUAN



A.  Latar Belakang
            Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah. Dia-lah sang pembuat hukum yang diperintahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi (seperti: wajib, sunnah, haram, makruh, mubah, maupun yang terkait) dengan hukum wad’i  (seperti: sebab, syarat, halangan, sah, batal, fazid, azimah dan rukhsoh). Untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum fih, karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram, atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih, sedangkan seseorang yang di kenai khitob itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf) , berikut penjelasan masing-masing. Melalui makalah ini kami yang dibebani tugas untuk mengkaji materi ini akan memberikan penjelasan lebih lanjut antar mahkum fih dan mahkum alaih.

B.  Rumusan Masalah

      Sesuai yang telah dijelaskan dalam latar belakang, pembuatan makalah ini mengacu pada rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa yang dimaksud dengan mahkum fih ?
2.      Apa syarat-syarat mahkum fih?
3.      Apa Macam-macam mahkum fih?
4.      Apa yang dimaksud dengan mahkun alaih ?

C.  Tujuan
      Tujuan dari pembuatan makalah ini tidak lain hanyalah untuk menjelaskan dan memaparkan lebih lanjut terhadap rumusan masalah, yaitu :
1.      Menjelaskan pengertian mengenai mahkum fih.
2.      Menjelaskan pengertian  mengenai mahkum alaih




BAB II
PEMBAHASAN

v MAHKUM FIH
A.  Pengertian Mahkum Fih
Mahkum fih ialah yang dibuat hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan (sangkutan) dengan hukum yang lima, yang masing-masing ialah:
1.    Yang berhubungan dengan ijab, dinamai wajib;
2.    Yang berhubungan dengan nadb, dinamai mandub/sunnah;
3.    Yang berhubungan dengan tahrim, dinamai haram;
4.    Yang berhubungan dengan karahah, dinamai makruh;
5.    Yang berhubungan dengan ibahah, dinamai mubah.
B.  Syarat-syarat Mahkum Fih
            Supaya sesuatu perbuatan sah ditaklifkan, ia harus memenuhi tiga syarat :
1.         Perbuatan itu diketahui oleh mukallaf dengan jelas, sehingga dia sanggup melakukannya seperti yang diminta dari padanya.
2.         Harus diketahui bahwa pentaklifan itu berasal dari orang yang mempunyai wewenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib atas mukallaf mematuhi hukum-hukumnya.
3.         Bahwa perbuatan yang ditaklifkan itu mungkin terjadi, artinya melakukannya atau meninggalkannya berada dalam batas kemampuan mukallaf.
C.  Macam-macam Mahkum Fih
Perbuatan yang dihukumkan (Mahkum Fih) itu adalah:
1.    Wajib
Perbuatan wajib, yaitu sesuatu perbuatan yang diberikan pahala bila dikerjakan dan diberi siksa bila ditinggalkan.
Contoh Wajib :
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad  itu…… (Surat Al-Maidah, ayat 1).
Ijaab yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi aqad yang hukumnya wajib.
2.    Mandub
Mandub (sunnah) yaitu suatu perkara yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat siksa atau dosa.
Contoh Mandub:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.... (Surat Al-Baqarah, ayat 282) .
Nadab yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu menulis hutangyang hukumnya mandub (sunat).
3.    Haram
Haram ialah larangan keras, jika dikerjakan berdosa dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
Contoh Haram:
Artinya : Dan janganlah kamu membunuh jiwa... (Surat Al-An’am, ayat 151).
Tahrim yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu membunuh jiwayang hukumnya haram.
4.    Makruh
Makruh ialah larangan yang tidak keras, jika dilanggar tidak berdosa, tetapi kalau tidak dikerjakan mendapat pahala.
Contoh Makruh:
Artinya: Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya… (Surat Al-Baqarah, ayat 267).
Karahah yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu menafkahkan harta yang buruk yang hukumnya makruh.
5.    Mubah
Mubah ialah sesuatu yang boleh/tidak dikerjakan. Kalau dikerjakan/ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa, misalnya makan yang halal, berpakaian bagus, tidur, dan sebagainya.
Contoh Mubah:
Artinya: Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain... (Surat Al-Baqarah, ayat 184).
Ibahah yang diperoleh dari ayat ini berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu berbuka puasadalam keadaan sakit atau dalam perjalanan, yang hukumnya mubah.


v MAHKUM ‘ALAIHI
A.  Pengertian Mahkum ‘Alaihi
Mahkum ‘alaihi (مَحْكُوْمٌ عَلَيْهِ) = yang dikenai hukum ialah: orang-orang mukallaf, artinya orang-orang muslim yang sudah dewasa dan berakal, dengan syarat ia mengerti apa yang dijadikan beban baginya. Orang gila, orang yang sedang tidur nyenyak, dan anak-anak yang belum dewasa dan orang yang terlupa tidak dikenai taklif (tuntutan), sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَ ثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يُفِيْقُ. (روه ابوداود والنسائ)
            “Pena itu telah diangkat (tidak dipergunakan mencatat) amal perbuatan tiga orang: (1) orang yang tidur hingga ia bangun, (2) anak-anak hingga ia dewasa, dan (3) orang gila hingga sembuh kembali”.
Demikianlah orang yang terlupa disamakan dengan orang yang tidur dan yang tidak mungkin mematuhi apa yang ditaklifkan.

B.  Dasar Taklif
Sebagai kebijaksanaan Allah SWT, perintah dan larangan (taklif = pertanggungan jawab, selanjutnya taklifi, selalu disesuaikan dengan kemampuan (ahliyyah) manusia. Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia bagaimanapun juga macamnya, tidak dibebankan kecuali kepada orang yang mempunyai kemampuan, karena itu, kemampuan ini menjadi dasar adanya taklif.

C.  Syarat-syarat Taklif
Syarat-syarat orang mukallaf itu ada dua bagian:
1.    Harus sanggup dan dapat memahami khitah atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya.
2.    Ahli dan patut ditaklifi. Yang dimaksud dengan ahli adalah pantas atau patut ditaklifi. Yang dimaksud mukallaf itu pantas atau patut dibebani dengan taklif. Ahli yang dimaksud terdiri dari dua bagian antara lain:
a.         Ahliyyah Wajib (اَهْلِيَةُ الْوُجُوْب )adalah kepantasan seseorang untuk mempunyai hak dan kewajiban.
·         Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang harus diterimanya dari orang lain.
·         Kewajiban adalah sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain.
Jadi ahliyatul-wujub itu adalah kepantasan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban dari orang lain. Dasar keputusan itu ialah kemanusiaan. Oleh karena itu sesama manusia laki-laki, perempuan, baik janin, bayi maupun baligh, gila ataupun waras/sehat otaknya, sakit atau sehat ditinjau dari kemanusiaannya ia adalah ahliyatul wajib.
Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyatul wujub mempunyai dua keadaan saja, yaitu:
1)   Terkadang ia mempunyai ahliyyatul wujub yang kurang, yaitu apabila ia layak untuk memperoleh hak, akan tetapi tidak layak untuk dibebani kewajiban, ataupun sebaliknya. Mereka mencontohkan yang pertama dengan contoh janin didalam perut ibunya. Ia mempunyai berbagai hak, karena ia berhak menerima warisan dan berhak atas pemanfaatan waqaf, akan tetapi ia tidak terbebani kewajiban untuk orang lain. Dengan demikian, ahliyyatul wujubnya adalah kurang.
2)   Ada kalanya ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna, apabila ia layak untuk memperoleh berbagai hak dan dibebani berbagai kewajiban. Ahliyyatul wujub ini tetap pada setiap manusia semenjak ia lahir, ketika ia kanak-kanak, dalam usia menjelang balighnya (mumayyiz), dan setelah ia baligh. Dalam keadaan apapun ia berbeda pada periode dari perkembangan kehidupannya, ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna. Sebagaimana telah kami kemukakan tidak ada seorang manusiapun yang tidak mempunyai ahliyyatul wujub.
b.        Ahliyyah ada’ ( اَهْلِيَةُ الاَدَاءَ  ) adalah kepantasan seseorang mukallaf untuk diperhitungkan oleh syara’, ucapan dan perbuatannya dengan pengertian, apabila seseorang mengerjakan shalat wajib, maka syara’ menilai bahwa kewajibannya telah tunai dan gugur daripadanya tuntutan itu. Sebagai dasar untuk menentukan ahliyatul ada-a ialah tamyiz. Oleh karena itu manusia yang tergolong kepada ahliyatul ada-a hanyalah manusia yang mumayiz saja.
Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyah ada’ mempunyai tiga keadaan, yaitu:
1)   Terkadang ia sama sekali tidak mempunyai ahliyyah ada’, atau sama sekali sepi daripadanya. Inilah anak kecil pada masa kanak-kanaknya dan orang gila dalam usia berapapun.
2)   Ada kalanya ia adalah kurang ahliyyah ada’-nya. Yaitu orang yang telah pintar tapi belum baligh. Ini berkenaan dengan anak kecil pada periode tamyiz (pandai membedakan antara baik dan buruk) sebelum baligh, dan berkenaan pula pada orang yang kurang waras otaknya, karena sesungguhnya orang yang kurang waras otaknya adalah orang yang cacat akalnya, bukan tidakl berakal, Ia hanyalah lemah akal, kurang sempurna akalnya. Jadi hukumnya sama dengan anak kecil yang mumayyiz.
3)   Ada kalanya ia mempunyai ahliyyah ada’ yang sempurna, yaitu orang yang telah mencapai akil baligh, ahliyyah ada’ yang sempurna terwujud dengan kebalighan manusia dalam keadaan berakal.
Halangan Ahliyyah
Hal-hal yang menggugurkan taklif dalam Ilmu Ushul Fikih disebut:           عَوَارِضُ الأَهْلِيَّةِ         
(hal-hal yang menghilangkan Keahlian), yang terbagi ke dalam dua macam, yaitu:
1.      سَمَاوِيَّةُعَوَرِضُ = hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya diluar usaha dan kehendak manusia. Seperti gila, agak kurang waras akalnya, dan lupa.
2.        كَسْبِيَةٌعَوَرِضُ = hal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan kehendak manusia. Seperti mabuk, bodoh, dan hutang.
















BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Dari pemahaman penulis, mahkum fih merupakan perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum yang lima, yaitu ijab/wajib, nadb/mandub, tahrim/haram, karahah/makruh, ibahah/mubah.
Syarat-syarat mahkum fih antara lain: perbuatan itu diketahui oleh mukallaf dengan jelas, sehingga dia sanggup melakukannya seperti yang diminta dari padanya, harus diketahui bahwa pentaklifan itu berasal dari orang yang mempunyai wewenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib atas mukallaf mematuhi hukum-hukumnya dan bahwa perbuatan yang ditaklifkan itu mungkin terjadi, artinya melakukannya atau meninggalkannya berada dalam batas kemampuan mukallaf.
Mahkum fih terbagi menjadi 5 macam, yaitu ijab/wajib, nadb/mandub, tahrim/haram, karahah/makruh, ibahah/mubah. Mahkum ‘alaihi adalah subjek hukum atau yang dikenai hukum. Yaitu orang-orang mukallaf.
Syarat-syarat taklifi antara lain: harus sanggup dan dapat memahami khitah atau ketentuan yang dihadapkan kepadanya, dan ahli dan patut ditaklifi. Yang menjadi dasar taklif adalah kemampuan (ahliyyah) manusia. Kemampuan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu ahliyyah wujub dan ahliyyah ada’.
Halangan ahliyyah yaitu hal-hal yang menghalang yang bersifat samawi, artinya diluar usaha dan kehendak manusia, danhal-hal yang menghalang yang berasal dari usaha dan kehendak manusia.










DAFTAR PUSTAKA

1.      Ahmad, Zainal Abidin, Ushul Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
2.      Bakry, Nazar, Fiqh &Ushul Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003.
3.      Rifa’i, Moh., Ushul Fiqih, Bandung: PT Alma’arif, tt.
4.      Hanafie, A., Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya Djakarta, 1965.
5.      Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Utama, 1994.